Kekhawatiran hilangnya Tetenger Sidayu bisa jadi bukan hanya sekedar kekhawatiran segelintir warga yang memang senang dengan konsep kota tua tanah Jawa. Kalau Pasar Sidayu bermetamorfosis menjadi bangunan dengan fungsi lain dan beberapa ikon alun-alun sudah mulai dihilangkan seperti dua pohon beringin yang dimusnahkan maka Alun-alun yang mejadi Ikon Sidayu akan hilang.
Alun-alun, kalau anda mendengar kata tersebut pasti teringat sebuah lapangan terbuka, yang ditengahnya terdapat dua pohon beringin besar dan disekelilingnya terdapat beberapa kantor pemerintahan dan masjid. Itulah sekilas gambaran alun-alun yang ada di tanah Jawa. Alun-alun biasanya digunakan untuk pusat kegiatan masyarakat seperti upacara atau acara-acara besar lainnya. Dan Alun-alun Sidayu mempunyai konsep tersebut.
Pada zaman dahulu, Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti Rampokan macan yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengutip dari Ensiklopediindonesia.com, alun-alun di seluruh tanah Jawa ini memiliki konsep yang sama pada jaman dulu. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin yang di pagari sekelilingnya. Dua pohon beringin ini memiliki filosofi bahwa seorang pemimpin harus mengayomi rakyatnya. Kini pohon beringin di alun-alun Sidayu sudah tidak ada diganti dengan taman yang juga kotor tidak terawat.
Alun-alun juga terpisah oleh satu jalan lurus yang membelah alun-alun menjadi sebelah timur dan barat. Jalan lurus di tengah alun-alun tersebut menuju pendopo yang berada di sisi utara alun-alun. Jalan tengah ini bermakna bahwa rakyat yang ingin sowan atau berkunjung ke rajanya atau pemimpinnya hanya menampakan diri agar lebih sopan.
Sedangkan pembagian alun-alun menjadi bagian barat dan bagian timur ini melambangkan kebaikan dan keburukan. Biasanya di sisi barat alun-alun terdapat masjid, sedangkan di sisi timurnya terdapat lembaga peradilan atau penjara.
Dikutip dari jawapos.com (31/1/2022) hasil wawancara dengan Eko Jarwanto, penulis buku Sidajoe, saat Sidayu berstatus kadipaten atau menjadi kabupaten sendiri. Belum bergabung menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Gresik. Kala itu, Sidayu dipimpin adipati. Satu di antara adipati yang paling dikenal adalah Kanjeng Sepuh atau Raden Suryo Adiningrat (1817 M), putra dari Sayid Abdurahman.
Sejak dulu Pasar Sidayu memang sudah ada. Tapi, saat itu lokasinya tidak berasa di timur alun-alun seperti sekarang. Dulu, lokasinya bisa di selatan alun-alun atau barat agak pojok, Dari riset pustaka dan investigasi yang telah dilakukan Eko, pada 1866 M, di sisi timur Alun-alun Sidayu masih berupa gedung-gedung atau kantor pemerintahan milik asisten residen.
Karena itu, tidak mungkin Pasar Sidayu berada di sisi rumah para pejabat kadipaten tersebut. Pasar Sidayu berada di sebuah lahan kosong. Pedagang berjualan di tanah lapang di sisi selatan atau pojok barat alun-alun, kata guru sekolah di Bungah, Gresik, itu.
“Pasar Sidayu memang sudah berusia ratusan tahun. Lokasinya dari dulu berada di sekitar alun-alun. Pasar yang ada di timur alun-alun sekarang itu pindahan ketika awal tahun 1900 M. Kalau pendopo atau rumah bupati ada di sisi utaranya pas alun-alun. Sekarang jadi sekolah dan Koramil,” papar alumnus sejarah Unesa itu.
Namun kabargresik.com menemukan peta yang dibuat pada tahun 1860, keberadaan bangunan mirip pasar Sidayu berada dilokasi sekarang dengan desain berbentuk huruf U.
Di masa Kanjeng Sepuh, Sidayu mengalami masa keemasan. Selain dipercaya menjadi aulia, dia juga pemimpin kadipaten Sidayu. Di beberapa catatan sejarah, di masa Kanjeng Sepuh itu perdagangan juga begitu maju. Dulu, orang Tionghoa pun banyak membuka usaha di wilayah tersebut. Hal itu terjadi lantaran Kanjeng Sepuh juga tokoh yang sangat toleran. Termasuk dengan para pedagang Tionghoa. Mereka boleh berusaha, tapi dilarang memelihara anjing.
Ada satu cerita menarik seperti dilansir dari sebuah blog Perkumpulan Kanjeng Sepuh. Selain menjadi seorang adipati, Kanjeng Sepuh merupakan pakar taktik. Banyak jasa Kanjeng Sepuh dalam menenteramkan rakyatnya. Melindungi mereka dari berbagai teror selama masa penjajahan.
Keberanian Kanjeng Sepuh dalam hal menentang kebijakan Belanda tentang pajak, misalnya. Sang Adipati berani mengusulkan nama sebuah pasar di Surabaya dengan nama Kabean, yang berarti buat seluruh. Maksudnya, saat itu Kanjeng Sepuh menolak diskriminasi dan kenaikan pajak yang dikehendaki Belanda. Sebab, waktu itu Belanda memiliki iktikad untuk membeda-bedakan pedagang dalam menaikkan pajak. Pasar ini kemudian dikenal dengan nama Pasar Pabean.
Kanjeng Sepuh juga dekat dengan rakyat. Saat malam, diam-diam dia rajin berkeliling ke seluruh wilayah kadipaten, yang meliputi Sidayu, Lamongan, Babat, hingga Jombang. Tujuannya, melihat keseharian dan masalah warganya. Dulu, di wilayah Sidayu, tidak jarang terjadi banjir. Namun, berkat kehebatan Kanjeng Sepuh, akhirnya bisa mengatur irigasi sehingga bisa menghilangkan banjir tahunan. Irigasi itu pun berhasil membuat petani bisa panen tiga kali dalam setahun.
Karena itu, di mata warga Sidayu maupun keturunannya, hingga kini nama Kanjeng Sepuh tetap harum. Setiap malam Jumat Pahing, makam Kanjeng Sepuh selalu ramai diziarahi. Para peziarah banyak datang dari berbagai daerah. Tradisi itu banyak membawa pengaruh terhadap mobilisasi ekonomi masyarakat Sidayu. Selain membeludaknya pengunjung Pasar Pahing, magnet ini pula bisa membangun pasar tiban yang dapat menggerakkan roda perekonomian. (tim)
- Baca juga: Siapa Pemaksa Relokasi Pasar Sidayu
- Pembagunan Kembali Pasar Sidayu Bisa Gunakan Dana BTT