Kabar Gresik – Ombak pesisir Jawa Timur kini tak lagi menyimpan mitos tentang hantu gaib. Hantu yang dimaksud adalah limbah, industrialisasi, dan krisis ekologi. Pesan itu dihadirkan Biennale Jatim XI bertema Hantu Laut yang resmi dibuka di Pudak Galeri, Gresik, Minggu (24/8).
Ajang seni rupa dua tahunan ini menghadirkan 64 seniman lintas disiplin, mulai seni rupa, instalasi, hingga pertunjukan. Pameran dibuka setiap hari pukul 10.00–21.00 WIB dan berlangsung selama 30 hari.
“Kami mencari karya yang betul-betul merepresentasikan kondisi pesisir Jawa Timur hari ini,” kata kurator Elyda K. Rara. Menurutnya, hantu laut kini hadir dalam wujud nyata. “Laut keruh, pasir tak lagi putih, nelayan kehilangan ruang tangkap, hingga pesisir dipenuhi sampah industri,” ujarnya.
Senada, kurator Vini Salma menyebut industrialisasi di Gresik mengubah wajah ekologi pantai. “Hal-hal seperti inilah yang menghantui mereka,” ungkapnya.
Deretan karya yang ditampilkan pun menyuarakan kegelisahan itu. Salah satunya “Andai Aku Ikan” karya Fatwa Amalia dan Raju Akbar, berupa instalasi berukuran 600 x 300 sentimeter dengan audio lagu anak yang mengajak pengunjung membayangkan diri sebagai makhluk laut yang terpinggirkan.
Tak kalah menarik, karya “Manusia, Kaleng & Sarden” milik Bintang Tanatimur. Instalasi sepanjang 12 meter ini dibuat dari ribuan kaleng bekas yang membentuk gelombang laut di langit-langit galeri. Karya tersebut menjadi kritik pada budaya konsumsi dan pencemaran laut.
Beberapa karya bersifat interaktif, seperti membatik di atas kain kosong atau menyalakan lilin di sekitar instalasi. “Ini bukan sekadar pameran seni rupa,” ujar pemandu acara, Alamanda. “Ini ajakan untuk merasakan, bahkan ikut terlibat dalam cerita pesisir.”
Biennale Jatim yang sudah digelar sejak 2005 disebut sebagai barometer perkembangan seni rupa di Jawa Timur. Dengan tema Hantu Laut, ajang ini menghadirkan ruang apresiasi sekaligus kritik sosial atas krisis ekologi pesisir.
Editor : Akhmad Sutikhon