Praktik jual beli lembar kerja siswa (LKS) dan buku kembali marak, Kali ini ditemukan praktik tersebut di UPT SDN 5 Gresik.
Siswa diwajibkan membeli LKS dan sejumlah buku, mereka harus mengeluarkan uang hampir satu rupiah.
Meski proses pembeliannya dapat diangsur dua kali dalam satu tahun, namun harga LKS dan buku tersebut dinilai sangat membebani.
“Sebagai orang tua pasti sangat keberatan, kalau ditotal harganya hampir jutaan,” kata salah satu wali murid SDN 5 Gresik berinisial A saat dikonfirmasi, Jumat (26/8/2022) lalu.
Pihaknya mengatakan, sebagai wali murid tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, setiap siswa diwajibkan membeli buku di sekolah. Tak terkecuali buku tulis.
“Iya bukunya juga beli di sekolah. Kecuali peralatan tulis, seperti pensil yang beli diluar sekolah,” ungkapnya.
Dirinya menyebut bahwa pembelian LKS tersebut sudah berlangsung lama. Saat pandemi covid-19 misalnya. Siswa belajar secara daring. Namun, tetap diwajibkan membeli LKS dan buku di sekolah.
Dijelaskan, proses pembelian LKS dan buku itu dikoordinir di masing-masing kelas. Setiap wali murid mendapatkan kertas rincian buku beserta harganya. Namun tidak ada kop atau logo sekolah.
“Hanya nama buku dan LKS serta harganya saja. Tidak ada tanda tangannya juga,” imbuh A, wali murid yang tinggal di Gresik Kota tersebut.
Pihaknya mengaku jika sebenarnya banyak wali murid yang keberatan. Hanya saja, tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, takut anaknya mendapat intimidasi atau dikucilkan di sekolah.
“Kalau tidak beli, takut anak saya diintimidasi di sekolah. Mau tidak mau harus membeli LKS dan buku di sekolah,” imbuhnya.
Terpisah, saat dikonfirmasi salah satu guru UPT SDN 5 Gresik, Eli membenarkan jika pihak sekolah menjual LKS ke siswa. Dirinya berdalih bahwa jual beli LKS itu atas kesepakatan bersama antara pihak sekolah dengan wali murid.
“Sifatnya tidak memaksa. Kalau beli monggo kalau tidak ya gak apa-apa,” kata Eli saat dikonfirmasi di ruang guru SDN 5 Gresik, Kamis (1/9/2022).
Eli mengatakan, bahwa LKS merupakan kerja guru, semua soal disusun sendiri oleh guru. Kemudian, dijual kepada para siswa. “Untuk kalangan sendiri,” imbuhnya.
Dirinya tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi, sebab hanya sebagai guru biasa. Sedangkan kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan sedang berada diluar.
“Yang lain saya gak bisa jawab, bukan kapasitas saya. Semuanya kapasitas kepala sekolah,” pungkasnya. (tik)